Call Me, Alfi
Kala sang surya
tersenyum menyejukkan, aku dan Umi memasuki wilayah, wajib berjilbab! Suasana disana
membuatku merasa damai, ya! Suasana yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Kota santri, begitu kata orang-orang di sekitarku, membuatku ingin merasakan
kehidupan di sebuah pondok pesantren yang modern tapi berakhlak mulia,
mengesankan. Hari ini pendaftaran gelombang pertama di buka, sudah ratusan
calon pelajar mengantri dari pagi hari begitu juga denganku, “Nur Alfiatul Ilmiah!”
sontak aku terkejut ketika namaku disebut, aku berdiri “Nur Alfiatul Ilmiah!!!” namaku disebut lagi
“Aduh, ya ya ya.. tergesa-gesa banget?” ungkapku, Umi hanya tersenyum melihat
tingkahku. Aku segera naik ke atas panggung, menerima formulir calon pelajar
dan mengisinya bersama Umi.
Aku dan Umi sempat berdebat soal
nama panggilanku “Umi nama panggilanku di ganti, ya?” tanyaku “Diganti siapa?”
Umi balik bertanya “Bagaimana kalau diganti ilmiah?” pintaku “Kedengarannya
aneh, Nur seperti biasanya aja?!” kata Umi “Kuno, Umi!” rengekku “Nah,
bagaimana kalau Alfi?” tanyaku “Seperti nama anak laki-laki?” Tanya Umi “Itukan
Alfin?” ujarku “Oh, begitu… ya sudah, kamu di panggil Alfi ya ? cepat tulis,
nanti dapat urutan terakhir lho!” kata Umi “Iya Umi” aku menurut. Begitulah,
keakrabanku dengan Umi, aku sangat sayang pada Umi.
Hari masih berlanjut, setelah Umi
membantuku menata peralatan dan membeli beberapa keperluan, beliau pulang ke
Malang, tempat asalku. Aku merasakan sedih yang amat mendalam, beberapa kali
aku menyeka air mata yang membasahi kedua pipiku hingga mataku membengkak,
dengan siapa aku disini? Sendiri? Bahkan, aku tidak mengenali siapapun disini,
tak seorangpun tapi, rata-rata semua calon pelajar disini menangis saat orang
tua mereka pulang, seakan-akan mereka takut akan kehilangan sosok kasih sayang
dalam diri orang tua mereka, Umi memelukku erat-erat dan berkata “Sampaikan
cita-citamu dengan do’a yang engkau lontarkan lewat mulut yang telah Dia ciptakan
untukmu supaya engkau dapat meminta pertolongan padanya, sampaikan juga salam
Umi pada-Nya, terimakasih telah diciptakannya sesosok buah hati yang kelak
membuatku bahagia di dunia dan akhirat” do’a Umi yang membuatku terus menerus
mengeluarkan butir-butir air mata antara sedih dan bahagia.
Hari kedua, adalah hari tes
lisan, ded-degan rasanya. Bagaimana kalau nanti aku nggak bisa menjawab
pertanyaan yang di ajukan? Duh, semoga bisa.. Amin. Do’aku terkabul, aku lolos
dengan nilai sedang, aku bersyukur karena yang ditanyakan ternyata adalah
kegiatan-kegiatan di rumah dan pelajaran Ibadah Amalia yaitu pelajaran yang
mempelajari tentang bagaimana cara berwudhu, sholat, tayamum, mandi, bahkan
hal-hal yang bersifat pribadi. Aku beruntung, karena sewaktu aku duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama juga diajarkan pelajaran Ibadah Amalia. Hari
ketiga, merupakan peristiwa paling bersejarah dalam ingatan memoriku, bagaimana
tidak? Di hari ini, adalah tes ujian tulis Bahasa Arab, pelajaran yang belum
pernah di ajarkan sebelumnya saat aku duduk di bangku SMP. Saat itu, aku duduk
di bangku urutan depan guru atau yang sering disebut ustadzah sebutan untuk guru perempuan, sebelumnya beliau
menerangkan bagaimana cara menjawab soal ujian tersebut, tapi bagi aku yang
baru mengenal Bahasa Arab hanya mengangguk-anggukkan kepala walaupun aku tak
mengerti apa yang di ucapkan ustadzah itu sebagian dari calon pelajar juga begitu,
he he he. Saat ujian berlangsungpun, aku hanya menjawab sebisaku seperti
pertanyaan, man ismuki? (siapa
namamu?) aku menjawab huruf hijaiyyah
yaitu huruf ba’ dan tsa. Benar-benar tidak dapat di
artikan.
Setelah pengumuman penerimaan
pelajar, banyak siswi-siswi yang melompat-lompat kegirangan, ada juga yang
bersujud syukur, dan ada juga yang menangis tersedu-sedu karena tidak diterima,
sedangkan aku diterima tapi aku justru merasa takut karena perjuanganku
dalam mewujudkan cita-citaku dan Umi,
semakin berat dan pastinya membutuhkan tekad dan perjuangan yang berat.
Umi
senang sekali ketika aku kabarkan bahwa
aku lulus terdengar suara isak tangis Umi begitu juga denganku, berbaur jadi
satu dan yang tak kalah hebohnya adalah Abi beliau berkali-kali mengucap
kalimat takbir Allahu Akbar!!!, suara
kedua orang tuaku yang telah melahirkan aku ke dunia ini begitu membuatku ingin
pulang.
Aku yang berarti anak tunggal dari
keluarga itu, saat menelepon kedua orang tua itu, tangisku pecah dan kala itu
juga ada sepasang tangan yang menyentuh pundakku, Umi aku kembali terisak di
bangku taman sepasang tangan itu tetap menyentuh pundakku, “Limadza anti, yaa ukhti?(kenapa engkau wahai
saudaraku?)” suara lembut yang tak kukenal, aku hanya menatapnya karena aku
tak mengerti apa yang ia ucapkan, mungkin dia mengerti aku, “Kamu kenapa?”
tanyanya “Aku hanya rindu orang tuaku” jawabku “Aku juga” balasnya. Aku menatapnya sesaat kuusap butir air mataku dan
menenangkan pikiranku sejenak, “Namamu siapa?” tanyanya “Nur Alfiatul Ilmiah
panggil saja Alfi, kalau kamu?” tanyaku kemudian “Kalau aku Farida Afhani
panggil saja Fhani” jawabnya. “Oh iya ?! kamu kan tadi bisa Bahasa Arab ya?
Ajari aku, dong ?!” pintaku “Aku cuma bisa sedikit aja kok, kalau kamu mau aku
bisa ajarkan sedikit-sedikit” ucapnya “Iya aku mau, daripada nggak bisa sama
sekali?” gurauku, kami tertawa.
Sedikit-sedikit aku bisa melupakan
kesedihanku dan aku senang mendapat teman baru yang baik dan pintar “Fhani,
kamu tinggal di rayon apa dan nomor
berapa?” tanyaku “Iskandaria nomor 9, kalau ukhti?”
tanyanya balik “Ooh, kita di rayon
yang sama tapi aku di kamar nomor 9, kita sama!.” ucapku “Kelas?”tanyanya
“Kelas X B” jawabku “Wah, kita sama!!!” teriaknya girang, aku terkejut
ternyata, dia cukup agresif padahal sesaat tadi pandangannya begitu lembut.
“Fhan, ke kamar, yuk!! Sudah mau adzan maghrib” ajakku “Yuk!!, mari…” jawabnya.
Hari ini, aku telah beradaptasi tanpa pelukan Umi dan Abi, terimakasih Ya
Allah, terimakasih Umi, terimakasih Abi, dan terimakasih Fhani.
Keesokan harinya, aku dan Fhani telah
resmi menjadi siswi sekaligus santriwati di pondok pesantren itu, “Al, mandi
yuk?!” ajakan Fhani pagi itu benar-benar membuatku kaget “Haa!!! Mandi
bareng??” pekikku. “Maksud aku, berangkat mandi bareng tapi mandinya
sendiri-sendiri..” jelas Fhani “Ooh,
kalau begitu, ayo!!” ajakku. Setibanya, di kamar mandi aku lebih terkejut
dibandingkan ketika aku diajak mandi bareng Fhani ternyata………. Mandinya pakai
antri, bayangkan antrinya sampai 5 santriwati atau bahkan lebih. Ckckckck,
terlaluu.
Kami berdua, berlari-lari seperti ada
yang mengejar karena hari ini adalah hari pertama masuk kelas, tidak boleh
dilewatkan. “Huuh, percuma mandi kalau keringetan lagi!” sesalku “Nggak
apa-apa, anggap aja ini olahraga setelah mandi?!” ucap Fhani “Luntur dech
bedakku!” ujarku, Fhani hanya tersenyum dan mendesah, untung tidak telat. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh,
santiwati-santriwatiku yang kami banggakan. Dalam acara Opening Class for New Student kali ini, saya selaku pengurus Pondok
Pesantren Putri Al-Amanah, mengucapkan terimakasih karena saudari-saudari sudah
mempercayakan kami untuk mendidik kalian kejenjang yang lebih tinggi yaitu
tingkat Sekolah Menengah Atas, singkat kata. Hari ini, kami mengucapkan SELAMAT
DATANG DI PONPES AL-AMANAH!” sambutan dari pengurus pondok pesantren itu
diakhiri suara teriakan dan tepuk tangan yang meriah. “Untung hari pertama
libur, jadi bisa nyantai-nyantai dulu” ucap Fhani “He’eh” jawabku.
Aku
akhirnya merebahkan diri di kamar, “Lumayan, hari pertama sudah berolahraga”
ucap Fhani. “Capek tahu!” tentangku, kupukul lengannya “Aduch.. ttaahhuuuuuu”
teriaknya “ Fhan, hari ini kan libur gimana kalau kita tidur pagi?” usulku
“haa.. usul yang bagus!” ucapnya. Hmmp….. huft, aku menarik napas panjang dan
memejamkan mata, saat mata baru saja terpejam “Banguuuuun!!!! Kerja bakti,
nih.” teriak Rena “Renaaa!!!! Bisa lembut sedikit kan ?” teriak Fhani, mata dan
wajahnya memerah baru kali ini aku melihat orang marah sampai seperti itu,
menyeramkan.
“Duh, sial banget nasib kita? Masa
disuruh bersih-bersih kamar mandi?!” keluh Rena “Salah siapa tadi yang semangat
banget nyuruh kerja bakti?” sindirku. Seketika, wajah Fhani berubah merah lagi
dan aku langsung mencairkan suasana yang mulai hangat itu “Apa salahnya
bersih-bersih kamar mandi, toh hitung-hitung
sedekah” ucapku dan menarik tangan Fhani untuk segera membersihkan kamar mandi
“Ren, ayo!” ajakku, Rena segera sadar dari lamunannya dan meminta teman-teman
sekamar untuk membersihkan kamar mandi “Ketua kamar yang aneh” ucap Fhani
“Mungkin dibalik sifat anehnya, ada sifat baiknya” ucapku “Iya, itu sifat
baiknya, bicara keras dengan pengeras suara” ucap Fhani kesal, aku hanya
tertawa cekikikan. Memang, saat Rena membangunkan kami dia menggunakan pengeras
suara sementara Fhani gampang sekali terkejut, pengeras suara itu di pondok
biasa disebut Mukabbirotu Ash-Shouti.
Sore harinya, aku mengajak Fhani ke
taman samping dapur, aku lebih senang duduk di situ dibandingkan di tempat
lain. Karena, aku suka pemandangan yang tampak dari sini karena tempatnya
tinggi dan juga kolam ikan yang berisi ikan yang indah dan besar-besar. Fhina
takjub, “dimana kamu menemukan tempat ini?” tanyanya “Saat Umi akan pulang, aku
berjalan-jalan dan menemukan tempat ini” ucapku, tak terasa air mataku menetes
satu-satu “Maaf” ucapku lagi “Aku yang minta maaf karena sudah menanyakannya
sama kamu, tapi siapa yang duduk di bangku sebelah sana itu? Apa ada satu
santri laki-laki di sini?” Tanya Fhani “Nggak tahu, paling Cuma anak desa
sebelah yang lagi numpang duduk dan baca buku di sini” ucapku tak peduli, Fhani
pun tidak mempermasalahkan itu.
Aku dan Fhani, akhirnya larut dalam
perasaan yang damai. Aku membiarkan pikiranku melayang jauh, menerawang
menembus angin, melepaskan pundi-pundi rindu yang tependam mengingatkanku pada sosok Umi.
Tuhan…
maafkan diri ini
Tak pernah bisa menjauh dari
Dari angan tentang…nya
Namun apalah daya ini
Bila ternyata sesungguhnya
Aku terlalu cinta…… dia
Syair lagu yang tiba-tiba mengalun di
hatiku, entah mengapa saat pendendang lagu ini aku selalu menghayatinya,
membuatu damai, senang, agresif, atau bahkan sedih seperti sekarang ini,Rossa.
Mendengar namanya saja membuatku bergetar, ehh… kok malah bahas ini ya?.
Kulirik Fhani masih bergelut dengan angannya, aku enggan hendak membuyarkan
angannya.
Akhirnya, aku mencari kesibukan ohh…
aku ingat, cowok misterius tadi kemana ya? Oh, ternyata dia sedang memandangi
sesuatu, tapi apa ya? Jadi penasaran, aku melirik penuh selidik sedang apa dia?
Tiba-tiba “Alfi, masih melamun?” tanyanya “Wueh?? Aku tuh nungguin kamu dari
tadi?” bantahku “Oh, memang aku tadi melamunkan banyak hal, kamu tadi lihat apa
sih? Kok, dari tadi menoleh ke belakang
terus?!” Tanya Fhani menyelidik, segera aku berdiri untuk menutupi apa yang ada
di belakang karena di belakang tempat duduk itu, ada cowok. “Eh, kamu kenapa,
Al? Aku kan mau lihat apa yang ada di belakang” ungkap Fhani, dia berdiri dan
melangkah bergerak ke belakangku “Eh, Fhan… ke sana saja!” ucapku ketika dia
masih berdiri di depanku, “Nggak mau” tolaknya, mati aku. Tapi, setelah aku
balikkan tubuhku cowok tadi telah menghilang. Hii… seram “Fhan, ke kamar yuk?”
ajakku “Wah, amazing, Al sini deh!”
ajaknya, aku menghampirinya “Ya Allah, Subhanallah…”
ucapku.
bersambung....
nantikan kisah Alfi selanjutnya....
bersambung....
nantikan kisah Alfi selanjutnya....