Minggu, 07 Desember 2014

call me, Alfi



Call Me, Alfi
                Kala sang surya tersenyum menyejukkan, aku dan Umi memasuki wilayah, wajib berjilbab! Suasana disana membuatku merasa damai, ya! Suasana yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kota santri, begitu kata orang-orang di sekitarku, membuatku ingin merasakan kehidupan di sebuah pondok pesantren yang modern tapi berakhlak mulia, mengesankan. Hari ini pendaftaran gelombang pertama di buka, sudah ratusan calon pelajar mengantri dari pagi hari begitu juga denganku, “Nur Alfiatul Ilmiah!” sontak aku terkejut ketika namaku disebut, aku berdiri   “Nur Alfiatul Ilmiah!!!” namaku disebut lagi “Aduh, ya ya ya.. tergesa-gesa banget?” ungkapku, Umi hanya tersenyum melihat tingkahku. Aku segera naik ke atas panggung, menerima formulir calon pelajar dan mengisinya bersama Umi.
              Aku dan Umi sempat berdebat soal nama panggilanku “Umi nama panggilanku di ganti, ya?” tanyaku “Diganti siapa?” Umi balik bertanya “Bagaimana kalau diganti ilmiah?” pintaku “Kedengarannya aneh, Nur seperti biasanya aja?!” kata Umi “Kuno, Umi!” rengekku “Nah, bagaimana kalau Alfi?” tanyaku “Seperti nama anak laki-laki?” Tanya Umi “Itukan Alfin?” ujarku “Oh, begitu… ya sudah, kamu di panggil Alfi ya ? cepat tulis, nanti dapat urutan terakhir lho!” kata Umi “Iya Umi” aku menurut. Begitulah, keakrabanku dengan Umi, aku sangat sayang pada Umi.
            Hari masih berlanjut, setelah Umi membantuku menata peralatan dan membeli beberapa keperluan, beliau pulang ke Malang, tempat asalku. Aku merasakan sedih yang amat mendalam, beberapa kali aku menyeka air mata yang membasahi kedua pipiku hingga mataku membengkak, dengan siapa aku disini? Sendiri? Bahkan, aku tidak mengenali siapapun disini, tak seorangpun tapi, rata-rata semua calon pelajar disini menangis saat orang tua mereka pulang, seakan-akan mereka takut akan kehilangan sosok kasih sayang dalam diri orang tua mereka, Umi memelukku erat-erat dan berkata “Sampaikan cita-citamu dengan do’a yang engkau lontarkan lewat mulut yang telah Dia ciptakan untukmu supaya engkau dapat meminta pertolongan padanya, sampaikan juga salam Umi pada-Nya, terimakasih telah diciptakannya sesosok buah hati yang kelak membuatku bahagia di dunia dan akhirat” do’a Umi yang membuatku terus menerus mengeluarkan butir-butir air mata antara sedih dan bahagia.
              Hari kedua, adalah hari tes lisan, ded-degan rasanya. Bagaimana kalau nanti aku nggak bisa menjawab pertanyaan yang di ajukan? Duh, semoga bisa.. Amin. Do’aku terkabul, aku lolos dengan nilai sedang, aku bersyukur karena yang ditanyakan ternyata adalah kegiatan-kegiatan di rumah dan pelajaran Ibadah Amalia yaitu pelajaran yang mempelajari tentang bagaimana cara berwudhu, sholat, tayamum, mandi, bahkan hal-hal yang bersifat pribadi. Aku beruntung, karena sewaktu aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama juga diajarkan pelajaran Ibadah Amalia. Hari ketiga, merupakan peristiwa paling bersejarah dalam ingatan memoriku, bagaimana tidak? Di hari ini, adalah tes ujian tulis Bahasa Arab, pelajaran yang belum pernah di ajarkan sebelumnya saat aku duduk di bangku SMP. Saat itu, aku duduk di bangku urutan depan guru atau yang sering disebut ustadzah sebutan untuk guru perempuan, sebelumnya beliau menerangkan bagaimana cara menjawab soal ujian tersebut, tapi bagi aku yang baru mengenal Bahasa Arab hanya mengangguk-anggukkan kepala walaupun aku tak mengerti apa yang di ucapkan ustadzah  itu sebagian dari calon pelajar juga begitu, he he he. Saat ujian berlangsungpun, aku hanya menjawab sebisaku seperti pertanyaan, man ismuki? (siapa namamu?) aku menjawab huruf hijaiyyah yaitu huruf ba’ dan tsa. Benar-benar tidak dapat di artikan.
           Setelah pengumuman penerimaan pelajar, banyak siswi-siswi yang melompat-lompat kegirangan, ada juga yang bersujud syukur, dan ada juga yang menangis tersedu-sedu karena tidak diterima, sedangkan aku diterima tapi aku justru merasa takut karena perjuanganku dalam  mewujudkan cita-citaku dan Umi, semakin berat dan pastinya membutuhkan tekad dan perjuangan yang berat.
             Umi senang  sekali ketika aku kabarkan bahwa aku lulus terdengar suara isak tangis Umi begitu juga denganku, berbaur jadi satu dan yang tak kalah hebohnya adalah Abi beliau berkali-kali mengucap kalimat takbir Allahu Akbar!!!, suara kedua orang tuaku yang telah melahirkan aku ke dunia ini begitu membuatku ingin pulang.
            Aku yang berarti anak tunggal dari keluarga itu, saat menelepon kedua orang tua itu, tangisku pecah dan kala itu juga ada sepasang tangan yang menyentuh pundakku, Umi aku kembali terisak di bangku taman sepasang tangan itu tetap menyentuh pundakku, “Limadza anti, yaa ukhti?(kenapa engkau wahai saudaraku?)” suara lembut yang tak kukenal, aku hanya menatapnya karena aku tak mengerti apa yang ia ucapkan, mungkin dia mengerti aku, “Kamu kenapa?” tanyanya “Aku hanya rindu orang tuaku” jawabku “Aku juga” balasnya. Aku  menatapnya sesaat kuusap butir air mataku dan menenangkan pikiranku sejenak, “Namamu siapa?” tanyanya “Nur Alfiatul Ilmiah panggil saja Alfi, kalau kamu?” tanyaku kemudian “Kalau aku Farida Afhani panggil saja Fhani” jawabnya. “Oh iya ?! kamu kan tadi bisa Bahasa Arab ya? Ajari aku, dong ?!” pintaku “Aku cuma bisa sedikit aja kok, kalau kamu mau aku bisa ajarkan sedikit-sedikit” ucapnya “Iya aku mau, daripada nggak bisa sama sekali?” gurauku, kami tertawa.
          Sedikit-sedikit aku bisa melupakan kesedihanku dan aku senang mendapat teman baru yang baik dan pintar “Fhani, kamu tinggal di rayon apa dan nomor berapa?” tanyaku “Iskandaria nomor 9, kalau ukhti?” tanyanya balik “Ooh, kita di rayon yang sama tapi aku di kamar nomor 9, kita sama!.” ucapku “Kelas?”tanyanya “Kelas X B” jawabku “Wah, kita sama!!!” teriaknya girang, aku terkejut ternyata, dia cukup agresif padahal sesaat tadi pandangannya begitu lembut. “Fhan, ke kamar, yuk!! Sudah mau adzan maghrib” ajakku “Yuk!!, mari…” jawabnya. Hari ini, aku telah beradaptasi tanpa pelukan Umi dan Abi, terimakasih Ya Allah, terimakasih Umi, terimakasih Abi, dan terimakasih Fhani.
          Keesokan harinya, aku dan Fhani telah resmi menjadi siswi sekaligus santriwati di pondok pesantren itu, “Al, mandi yuk?!” ajakan Fhani pagi itu benar-benar membuatku kaget “Haa!!! Mandi bareng??” pekikku. “Maksud aku, berangkat mandi bareng tapi mandinya sendiri-sendiri..”  jelas Fhani “Ooh, kalau begitu, ayo!!” ajakku. Setibanya, di kamar mandi aku lebih terkejut dibandingkan ketika aku diajak mandi bareng Fhani ternyata………. Mandinya pakai antri, bayangkan antrinya sampai 5 santriwati atau bahkan lebih. Ckckckck, terlaluu.
         Kami berdua, berlari-lari seperti ada yang mengejar karena hari ini adalah hari pertama masuk kelas, tidak boleh dilewatkan. “Huuh, percuma mandi kalau keringetan lagi!” sesalku “Nggak apa-apa, anggap aja ini olahraga setelah mandi?!” ucap Fhani “Luntur dech bedakku!” ujarku, Fhani hanya tersenyum dan mendesah, untung tidak telat. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh, santiwati-santriwatiku yang kami banggakan. Dalam acara Opening Class for New Student kali ini, saya selaku pengurus Pondok Pesantren Putri Al-Amanah, mengucapkan terimakasih karena saudari-saudari sudah mempercayakan kami untuk mendidik kalian kejenjang yang lebih tinggi yaitu tingkat Sekolah Menengah Atas, singkat kata. Hari ini, kami mengucapkan SELAMAT DATANG DI PONPES AL-AMANAH!” sambutan dari pengurus pondok pesantren itu diakhiri suara teriakan dan tepuk tangan yang meriah. “Untung hari pertama libur, jadi bisa nyantai-nyantai dulu” ucap Fhani “He’eh” jawabku.
         Aku akhirnya merebahkan diri di kamar, “Lumayan, hari pertama sudah berolahraga” ucap Fhani. “Capek tahu!” tentangku, kupukul lengannya “Aduch.. ttaahhuuuuuu” teriaknya “ Fhan, hari ini kan libur gimana kalau kita tidur pagi?” usulku “haa.. usul yang bagus!” ucapnya. Hmmp….. huft, aku menarik napas panjang dan memejamkan mata, saat mata baru saja terpejam “Banguuuuun!!!! Kerja bakti, nih.” teriak Rena “Renaaa!!!! Bisa lembut sedikit kan ?” teriak Fhani, mata dan wajahnya memerah baru kali ini aku melihat orang marah sampai seperti itu, menyeramkan.
       “Duh, sial banget nasib kita? Masa disuruh bersih-bersih kamar mandi?!” keluh Rena “Salah siapa tadi yang semangat banget nyuruh kerja bakti?” sindirku. Seketika, wajah Fhani berubah merah lagi dan aku langsung mencairkan suasana yang mulai hangat itu “Apa salahnya bersih-bersih kamar mandi, toh hitung-hitung sedekah” ucapku dan menarik tangan Fhani untuk segera membersihkan kamar mandi “Ren, ayo!” ajakku, Rena segera sadar dari lamunannya dan meminta teman-teman sekamar untuk membersihkan kamar mandi “Ketua kamar yang aneh” ucap Fhani “Mungkin dibalik sifat anehnya, ada sifat baiknya” ucapku “Iya, itu sifat baiknya, bicara keras dengan pengeras suara” ucap Fhani kesal, aku hanya tertawa cekikikan. Memang, saat Rena membangunkan kami dia menggunakan pengeras suara sementara Fhani gampang sekali terkejut, pengeras suara itu di pondok biasa disebut Mukabbirotu Ash-Shouti.
         Sore harinya, aku mengajak Fhani ke taman samping dapur, aku lebih senang duduk di situ dibandingkan di tempat lain. Karena, aku suka pemandangan yang tampak dari sini karena tempatnya tinggi dan juga kolam ikan yang berisi ikan yang indah dan besar-besar. Fhina takjub, “dimana kamu menemukan tempat ini?” tanyanya “Saat Umi akan pulang, aku berjalan-jalan dan menemukan tempat ini” ucapku, tak terasa air mataku menetes satu-satu “Maaf” ucapku lagi “Aku yang minta maaf karena sudah menanyakannya sama kamu, tapi siapa yang duduk di bangku sebelah sana itu? Apa ada satu santri laki-laki di sini?” Tanya Fhani “Nggak tahu, paling Cuma anak desa sebelah yang lagi numpang duduk dan baca buku di sini” ucapku tak peduli, Fhani pun tidak mempermasalahkan itu.
          Aku dan Fhani, akhirnya larut dalam perasaan yang damai. Aku membiarkan pikiranku melayang jauh, menerawang menembus angin, melepaskan pundi-pundi rindu yang tependam  mengingatkanku pada sosok Umi.
                         Tuhan… maafkan diri ini
                        Tak pernah bisa menjauh dari
                        Dari angan tentang…nya
                        Namun apalah daya ini
                        Bila ternyata sesungguhnya
                        Aku terlalu cinta…… dia
          Syair lagu yang tiba-tiba mengalun di hatiku, entah mengapa saat pendendang lagu ini aku selalu menghayatinya, membuatu damai, senang, agresif, atau bahkan sedih seperti sekarang ini,Rossa. Mendengar namanya saja membuatku bergetar, ehh… kok malah bahas ini ya?. Kulirik Fhani masih bergelut dengan angannya, aku enggan hendak membuyarkan angannya.
          Akhirnya, aku mencari kesibukan ohh… aku ingat, cowok misterius tadi kemana ya? Oh, ternyata dia sedang memandangi sesuatu, tapi apa ya? Jadi penasaran, aku melirik penuh selidik sedang apa dia? Tiba-tiba “Alfi, masih melamun?” tanyanya “Wueh?? Aku tuh nungguin kamu dari tadi?” bantahku “Oh, memang aku tadi melamunkan banyak hal, kamu tadi lihat apa sih? Kok, dari  tadi menoleh ke belakang terus?!” Tanya Fhani menyelidik, segera aku berdiri untuk menutupi apa yang ada di belakang karena di belakang tempat duduk itu, ada cowok. “Eh, kamu kenapa, Al? Aku kan mau lihat apa yang ada di belakang” ungkap Fhani, dia berdiri dan melangkah bergerak ke belakangku “Eh, Fhan… ke sana saja!” ucapku ketika dia masih berdiri di depanku, “Nggak mau” tolaknya, mati aku. Tapi, setelah aku balikkan tubuhku cowok tadi telah menghilang. Hii… seram “Fhan, ke kamar yuk?” ajakku “Wah, amazing, Al sini deh!” ajaknya, aku menghampirinya “Ya Allah, Subhanallah…” ucapku. 


bersambung....
nantikan kisah Alfi selanjutnya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar